WELCOME

Selamat Datang di Pangkreng's Blog.

Monday, July 9, 2007

Puisi

SEPI YANG ANEH

Malam ini ku seorang diri

Tak ada yang menemani

Kelelawar seakan tertawa melihatku

Sendiri tak ada teman

Hening rasanya…….

Hanya angin malam yang menemani

Dingin rasanya menusuk kulit

Tajam…………

Tajam sekali

Ku terpaku melihat langit

Tak ada bintang malam ini

Mungkin mereka enggan menemaniku

Begitu pula dengan semut

Mereka lari setelah melihatku

Ada apa dengan diriku

Tanda tanya besar dalam hatiku

Oh ternyata aku belum mandi

Dari seminggu lalu…….

Cerpen

Bu Yati…

Pagi ini cerah sekali tak seperti hari-hari sebelumnya. Aku biasa berangkat jam setengah tujuh untuk pergi ke sekolah. Setiap hari aku pakai sepeda motor sebagai kendaraan ke sekolah, kadang pas motor sedang mogok aku lebih suka tak masuk sekolah daripada naik angkutan karena aku tak terbiasa naik kendaraan itu, lebih-lebih aku canggung apabila naik bersama orang-orang disekitarku yang tak aku kenal. Muak rasanya bila mereka melihatku, seperti ada yang aneh padaku. Kejadian itu terjadi sewaktu aku masih duduk di kelas satu SMA, dari kejadian itu aku kapok naik angkutan. Sekarang aku duduk di kelas 2 SMA.

Sepeda motorku sudah kupersiapkan di depan rumah, sudah aku panaskan mesinnya pula. Seperti layaknya prajurit mau ke medan perang, perlengkapan sekolahku pun tak kalah lengkap, kudaku alias motorku pun sudah siap. Seperti biasanya aku pamit dulu ke orang tua mengharap doa restu agar di perjalanan selamat sampai tujuan yaitu sekolah. Kucium tangan ibu bapakku sebagai tanda hormat yang sudah menjadi kewajiban tradisi jawa yaitu mencium tangan orang yang lebih tua.

Melaju motorku kira-kira sudah satu kilometer, jarak antara rumahku ke sekolah empat kilometer, cukup dekat untuk ukuran orang yang naik motor. Melewati sawah-sawah dan kampung-kampung. Lagi asyiknya berdendang di atas laju motorku, orang setengah baya melambaikan tangannya pertanda aku disuruh berhenti. Beliau seorang perempuan, dilihat dari raut mukanya kelihatannya beliau berumur 54 tahun, seumuran dengan ibuku. Beliau bermaksud ikut membonceng motorku. Kebetulan arah tujuan ibu itu searah dengan tujuanku. Beliau memperkenalkan namanya, bu yati biasa dipanggil, ternyata seorang pedagang kain. Beliau ingin diantar ke pasar baru untuk menjajakan dagangannya. Beliau biasanya naik sepeda, tapi karena sepedanya dijual jadi ikut aku membonceng. Kuberanikan diri bertanya pada ibu itu kenapa sepedanya bisa dijual, kata beliau karena untuk membiayai uang sekolah anaknya. “Maklum suami saya meninggal dek, jadi saya yang harus menghidupi keluarga saya”, bu yati. Pasar baru itu kira-kira dua kilometer dari rumahku, di sebelah pasar itu ada tempat pemakaman umum, cukup aneh juga pikirku kenapa di samping pasar ada tempat pemakaman. Tak terasa motorku sudah sampai di pasar baru dan ibu itu meminta turun, tak lupa beliau mengucapkan terima kasih. Aku lihat beliau masuk ke dalam pasar dan ternyata beliau cukup dikenal oleh orang-orang di pasar itu, terbukti baru masuk beliau sudah disapa beberapa orang disekitarnya, mungkin temannya mungkin juga pembeli atau pelanggannya.

Aku beranjak pergi menuju ke sekolah, kupacu motorku dengan cepat barangkali nanti terlambat. Mentari pagi sinarnya sudah mulai panas membelai kulit. Seperti biasanya aku berdendang sambil kulajukan motorku. Belum habis 2 lagu, gerbang sekolah menyambutku bagaikan seorang prajurit disambut oleh gerbang istana seusai bertempur di medang laga. Tak lupa kusapa pak satpam yang berjaga yang bersiap menutup pintu gerbang. Jam pertama pelajaran matematika, pelajaran yang paling aku benci dan aku muak bila mendengarnya. Malas rasanya aku mengikuti pelajaran yang satu itu. Semester kemarin nilai matematika di raporku merah. Jelas warna merah di pelupuk mataku, kesal rasanya, apalagi bila ayahku memarahi hanya gara-gara nilai matematika jelek, ingin kusobek-sobek buku rapor itu. “Uh rasanya seperti di neraka kalau mengikuti pelajaran ini”, pikirku dalam hati. Bel berbunyi tanda pelajaran matematika usai, rasanya bagai terbang ke surga. Sehabis ini kuikuti pelajaran yang lain dengan baik, tak terasa bel panjang berbunyi dan jam dinding menunjukkan pukul setengah dua, tanda siswa-siswi SMA Tunas Bangsa harus pulang, terkecuali mereka siswa-siswi yang mengikuti organisasi sekolah dan mereka pulang agak sore.

Matahari lurus di atas kepalaku sinarnya menusuk kulit, panasnya bukan main memaksa air peluhku keluar, rasanya seperti mandi, keringat membasahi seluruh tubuhku. Kupacu motorku dengan cepat sudah tak tahan ingin cepat pulang ke rumah. Rasanya ingin cepat pulang terbayang segelas es di pelupuk mataku, ingin segera kutenggak. Tak berapa lama sampailah aku di rumah, bergegas tak kulepas seragamku dulu langsung ku berlari menuju ke lemari es untuk bermaksud membuat segelas es. Kutengak langsung, habis 3 gelas. “Memang siang sangat panas”, pikirku.

*

Ayam berkokok…aku menguap sebentar, kulihat jam bekerku yang duduk di atas meja menunjukkan pukul setengah lima subuh. Dengan berjalan gontai menuju kamar mandi, dan bermaksud untuk kencing. “Uggrh…nikmat rasanya kalau sehabis kencing”, kataku. Kuambil air wudhu lalu kulanjutkan sholat shubuh. Biasanya aku sholat di mushola, tapi kali ini dirumah karena di luar udara sangat dingin, malas untuk keluar rumah. Padahal kata kyai-kyai yang suka dakwah, sholat berjamaah pahalanya lebih banyak daripada sholat di rumah. Tapi yang aku tak habis pikir, kenapa kyai-kyai itu hanya bisanya ngomong tapi prakteknya nol. “Ah emangnya gue pikirin, kataku dalam hati sambil tersenyum kecut.

Pagi ini kurang cerah, mentari malas keluar dari selimutnya. Udara sangat dingin, membuatku merinding dan malas untuk mandi. Padahal aku harus sekolah. Kuberanikan diri untuk mandi, kuguyur air dari atas kepalaku sampai bawah kakiku, benar saja airnya sangat dingin. Kupercepat mandiku karena sudah tak tahan dengan dingin air bak mandi itu. Selesai, seperti biasanya yang rutin setiap hari, kupersiapkan perlengkapan sekolah dan sebagainya.

Kupacu sepeda motorku, angin menerpa tubuhku menambah suasana dingin padaku. Seperti biasanya aku ambil jalan yang setiap hari kulalui. Kulihat wanita sebaya yang kemarin, dia melambaikan tangannya seperti kemarin dan membonceng motorku. Dari sejak itu sampai sekarang, kira-kira sudah 4 bulan bu Yati membonceng motorku.

Pernah suatu hari bu Yati memberikan sehelai kain untuk ibuku sebagai tanda terimakasih karena bu Yati setiap hari membonceng motorku. Aku juga pernah diajak bu Yati ke rumahnya, untuk sekedar silaturahmi dan dikenalkan dengan anaknya seorang perempuan berumur 15 tahun yang bernama Wati. Dia masih duduk di kelas 2 SMP, wajahnya muram, rambutnya kusut tak terawat .

Mereka cuma tinggal berdua di rumahnya. Karena saking akrabnya aku dengan Wati, dia sudah kuanggap seperti adik sendiri, maklum di rumah aku tidak punya adik, hanya punya 1 kakak itupun sudah menikah.

Kalender menunjukkan tanggal 21 januari, hari senin. Aku masih memeluk erat guling di kamar, malas untuk sekolah apalagi hari ini ada ulangan matematika, kuputuskan untuk tidak berangkat sekolah. Masa bodoh aku tak dapat nilai matematika. “Aku tidak usah khawatir dimarahi ortu, soalnya mereka lagi liburan di luar kota, aku sendirian di rumah jadi gak akan ada yang memarahiku”, pikir aku dalam hati.

Hari selanjutnya aku berangkat seperti biasa. Seperti biasa juga bu Yati menungguku untuk membonceng. Kulihat hari ini bu Yati agak aneh, pandangannya kosong wajahnya layu dan berpakaian seperti orang yang sedang menunaikan haji, putih-putih. Selama membonceng aku, beliau hanya diam saja tidak seperti biasanya yang orangnya suka bicara alias cerewet. Aku teringat kemarin sewaktu aku tidak berangkat sekolah, dia naik apa ke pasar baru?. Kutanyakan hal itu pada bu Yati, dia hanya menjawab jalan kaki, cuma itu yang dia katakan lalu diam sepanjang perjalanan. Yang tak kalah anehnya lagi setelah sampai tujuan, dia tidak meminta turun di depan pasar baru tetapi di depan pemakaman yang terletak di samping pasar baru. Aku berpikir, “bu Yati mau jualan atau ziarah”. Kuperhatikan sejenak bu Yati setelah turun dari motorku, beliau masuk ke dalam pemakaman dan menuju ke kuburan yang masih baru. Beliau duduk di samping kuburan itu dan hanya diam. Aku tak tahu, siapa yang baru mati, kulihat nisannya bermaksud kubaca namanya, tapi tak bisa kubaca terlalu jauh jarak aku yang masih di pinggir jalan dengan kuburan itu. Aku lantas pergi begitu saja. Sepulang sekolah seperti biasa aku melewati pasar baru dan pemakaman itu, setelah motorku melaju kira-kira di depan pemakaman, dengan tak sengaja ku melihat bu Yati masih duduk termenung di kuburan itu. Aku setengah kaget berpikir, “ berarti dari pagi tadi sampai siang ini bu Yati tidak jualan alias masih di pemakaman. Kupanggil namanya bermaksud untuk mengajaknya pulang, tapi tidak mendengar panggilanku padahal aku sudah berkali-kali memanggil. Beliau hanya diam saja tak menoleh sedikit pun, lantas aku pulang tak sempat menghampiri bu Yati karena hari sudah terlalu siang.

Esok pagi aku berangkat seperti biasanya, kejadian kemarin terulang kembali, persis. Bu Yati mengenakan baju putih dengan wajah kusut. Kejadian aneh itu terulang sampai tiga hari. Setelah itu bu Yati tidak pernah membonceng motorku lagi, sudah tiga hari pula kira-kira berlalu sejak bu Yati tidak membonceng motorku. “Ini aneh”, pikirku. Sepulang sekolah aku menuju ke pasar baru, untuk bertanya perihal bu Yati. Kuhampiri orang-orang pasar. Aku bertanya pada salah satu seorang penjual sayur, dia namanya mbok Darmi. “Mbok, aku lihat-lihat di pasar kok Bu Yati pedagang kain tidak jualan?”, tanyaku. “Waduh dek, bu Yati itu sudah meninggal seminggu yang lalu, kira-kira kalau ga salah hari senin karena tertabrak truk”, kata mbok Darmi. Aku belum percaya ucapan mbok Darmi, lantas aku kerumahnya untuk menanyakan kepada Wati. Sampai di depan rumahnya aku lihat Wati menangis terisak-isak sendirian. Aku menanyakan perihal bu Yati, benar saja bu Yati telah meninggal seminggu yang lalu, tepatnya hari senin. Aku bertanya kepada Wati, “Kok kamu tidak mengabarkan aku kalau bu Yati telah meninggal?”, tanyaku. “aku tidak tahu rumah mas, jadi gak bisa mengabarkan kepada mas,” jawab Wati sambil menangis tersedu-sedu.

Aku kaget setengah mati, karena habis kematian bu Yati aku masih sempat memboncengkan beliau sampai tiga hari. Aku pingsan tak sadarkan diri.

Aku membuka mata lebar-lebar, tiba-tiba aku sudah terbaring di kasur di kamarku. Ibuku bertanya padaku kok bisa sampai pingsan? Aku ceritakan segalanya. Kulihat ibu mengelus dadanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku mendengar kabar kalau Wati meninggal bunuh diri, keluargaku sontak kaget. Oleh pengakuan tetangganya Wati bunuh diri karena tak tahan menjadi anak yatim piatu. Padahal ibuku mau mengangkatnya menjadi anak angkat dan sebagai adik angkatku, tapi ini mungkin sudah takdir. Sungguh malang nasib keluarga bu Yati”, Pikirku.

Opini

Kejahatan ada dimana-mana

Kita tahu bahwa dunia ini diciptakan oleh Tuhan oleh dua sisi mata uang yang berbeda. Ada siang dan malam, laki-laki dan perempuan, dan kebaikan dan kejahatan. Disini yang akan saya kupas adalah masalah kejahatan.

Kejahatan itu ada dimana-mana, seperti itu mungkin yang pantas saya kemukakan. Bagaimana tidak, sekarang ini kejahatan melingkupi berbagai lapisan masyarakat, dari kalangan atas sampai kalangan bawah di lingkup politik. Sebagai contoh gampang yang terjadi di kalangan atas, kita tahu bangsa ini sedang dilanda oleh badai korupsi yang terjadi di pemerintahan, oknum “pejabat” yang sudah kaya berusaha memperkaya diri, inilah mental buruk orang-orang kalangan atas. Kita tidak tahu bahwa rakyat sudah sangat sengsara tapi mereka tidak sadar malah makin menjadi-jadi perbuatan bejatnya itu, inilah yang menyebabkan bangsa ini dilanda oleh masalah krisis moneter. Inilah pangkal dari kejahatan yang terjadi di kalangan bawah, pengangguran ada dimana-mana, tidak ada pekerjaan, sedangkan untuk makan sehari-hari mereka harus mencari penghidupan. Dengan terpaksa mereka melakukan kejahatan, entah itu mencuri, merampok, mencopet dan sebagainya. Insya Allah kalau tidak ada pengangguran di negeri ini, kejahatan itu pasti dapat hilang dengan sendirinya. Seharusnya pemerintah sadar akan problematika negeri ini.

Kejahatan di lingkup pendidikan ?. Kita pernah mendengar kejadian ada kepala sekolah di jawa timur tepatnya, mencuri naskah ujian. Dimaksudkan agar anak didiknya itu di sekolahnya dapat lulus ujian semuanya, supaya reputasi sekolah tidak hancur. Ada lagi oknum yang tidak bertanggung jawab berusaha mencari keuntungan di balik berlangsungnya ujian nasional dengan menjual “bocoran ujian” kepada siswa-siwa yang akan melaksanakan ujian nasioanal. Mungkin ini masalah yang harus diselesaikan oleh pemerintah khususnya menteri pendidikan kita. Mungkin para oknum di balik tembok pendidikan “guru” terpaksa melakukan perbuatan tersebut pasti mempunyai alasan, mungkin kesejahteraan mereka kurang layak dihargai dengan apa yang mereka lakukan untuk mencerdaskan bangsa, mungkin??? Dan mutu pendidikan yang harus dipertaruhkan. Mulai sekarang pemerintah harusnya memperhatikan kesejahteraan mereka atau perlu mendengarkan lagu “Omear Bakrie” yang dilantunkan oleh Iwan Fals.

Kejahatan di lingkup agama ?. Ini terus terang saya menggeleng-gelengkan kepala setelah mendengar ini. Kita masih ingat tentang uang haji yang dikorupsi oleh oknum yang tak bertanggung jawab itu, mungkin para pembaca sudah tahu siapa oknum yang melakukan itu sehingga tidak perlu saya terangkan disini. Betapa tidak memprihatinkan, uang yang seharusnya digunakan untuk mendukung jalannnya beribadah kepada Tuhan malah dikorupsi. Ada lagi, sering kita dengar berita di media cetak maupun media elektronik tentang kriminalitas, bahwa ada ustad yang tega memperkosa anak didiknya itu dan terjadi di pesantren waktu lagi jam belajar mengajar, ustad yang seharusnya memberikan contoh yang baik malah memberikan contoh yang buruk. Terus terang saya sebagai seorang islam merasa malu. Yang salah bukan agamanya tapi orang-orangnya itu. Kita harus bicara mental, mental itu harus diperbaiki dengan kesadaran masing-masing individu.

Kejahatan dilingkup masyarakat ? ini mungkin sudah biasa terdengar. Dan orang melakukan kejahatan pasti mempunyai alasan masing-masing. Di era ekonomi sulit ini, pasti tidak adanya pekerjaan dan pengangguran dimana-mana, mungkin ini alasan kebanyakan masyarakat untuk melakukan kejahatan. Mereka dengan terpaksa melakukan kejahatan karena dihimpit oleh ekonomi sulit dan desakan untuk menyambung hidup. “Wong mencari yang haram aja sulit apalagi mencari yang halal”, mungkin itu sekelumit kata yang biasa diucapkan mereka.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kejahatan itu bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja, dan sebagai manusia yang beragama kita seharusnya sadar untuk tidak melakukan kejahatan walaupun sedikitpun. Kita juga harus mawas diri.

Silahkan kalau ada pembaca yang berkomentar dari uraian yang saya kemukakan di atas !

***